Sabtu, 31 Juli 2021

Jeda

Ada masanya diri sendiri ngrasa sedang sangat baik-baik aja. Puas banget sama apa yang diri sendiri punya dan puas atas segala sesuatu yang udah (mampu) di lakukan, bukan karena kesempurnaan atau apa, melainkan saat itu juga diri sepenuhnya menerima semua kekurangan, memaafkan segala sesuatu yang belum bisa dilakukan/dicapai. Sadar penuh atas apa yang sedang di usahakan, sadar penuh untuk apa sesuatu yang sedang dikejar. Sadar penuh atas apa-apa yang melekat pada diri ngga butuh validasi orang lain. Kelebihan yang ada ngga haus akan pujian, pun kekurangan yang ada ngga ciut dengan komentar manusia lain. Semua itu ngga memberi pengaruh apapun ketika kita sendiri udah selesai dengan itu semua. Karena kelebihan dan kekurangan diri sudah seharusnya jalan beriringan.

Haha kirain perasaan itu akan selamanya bertahan, ternyata kebiasaan bandingin hidup akan tetap muncul dalam situasi-situasi tertentu. Jangan bandingin hidup sendiri dengan orang lain ternyata nggak semudah kita nulis di status atau di kolom komentar. Perasaan diri sendiri tak lebih baik dari orang lain hadir kembali. Perasaan diri tak lebih sukses dari orang lain menyusul dibelakangnya. Bahkan perasaan diri ngga berguna dan  semua yang sudah di usahakan dan perjuangkan terlihat sia-sia juga kerap ikut-ikutan meneror.Semuanya seperti lingkaran setan yang ngga putus-putus. Kadang cape juga si punya perasaan gitu, udah ngerasa well eh down lagi, well..down lagi, gitu terus. Tapi yaaa begitulah hidup, wajar naik turun.

Tapi kali ini aku coba memaknainya beda, ketika lagi banding-bandingin hidup dengan orang lain, lagi insecure adalah kondisi yang aku artikan sebagai sinyal bahwa kita lagi ngga sadar secara penuh. Makanya yang tepat dilakukan pas down lagi tu yaa ambil jeda. Tinggalin dulu semua aktivitas yang sedang dilakukan, atau boleh break dulu kerjaanya bentar kalau memungkinkan. Value dan prinsip hidup bisa jadi muara reflesksi. Emang paling bener tu ya harus sadar. Sadar emosi apa yang lagi dirasa, sadar kita nglakuin ini semua untuk apa, sadar kita lagi bandingin hidup dengan orang lain, pokonya harus sadar sama apa yang kita kejar. Kita tu bukan lagi kompetisi, tapi kebermaknaan hidup yang lagi di cari. Coba lihat lagi niat awal, kalau apa yang sedang kita lakukan, kita usahakan ternyata niatnya udah melenceng berarti kudu di lempengin lagi. Tajdidatun niat atau perbarui niat tu emang perlu terus dilakukan katanya. Niat awal udah bener, belum tentu ditengah jalan masih lempeng. Niat awal sekolah buat cari ilmu, tapi ditengah jalan bisa berubah niat jadi ingin saingan dan ajang pembuktian diri ke orang lain karena liat teman lain berprestasi misalnya. Dan masih banyak lagi peluang bandingin di ranah sosial ekonomi bahkan relasi.

Jadi inget percakapan dengan salah seorang psikolog pas konseling kemarin. Sebenernya kita tu nggak adil ketika menjadikan orang lain sebagai objek untuk membandingkan hidup kita. Karena latar belakang dan segala kondisi yang kita alami juga beda, jadi ngga fair kalau mau bandingin hidup kita dengan orang lain. Kalau mau bandingin hidup ya jadikan diri kita sendiri sebagai objek perbandingan tersebut. Maksudnya kalau mau bandingin hidup coba bandingin hidup kita yang sekarang dengan yang dulu, itu baru adil. Apakah sekarang kita udah lebih baik dibanding yang dulu? Apakah udah ada progress meski sedikit? Misal dulu kita belum tau ini sekarang udah tau, dll. Kita punya parameter nya masing-masing. Kayanya perbandingan gitu yang justru membangun. Kalu bandingin hidup dengan orang lain malah jatuhnya insecure nggak sih? Kalian suka gitu juga nggak? Hehe. Lagian kasian juga sih kalau kita terus-terusan men-judge diri kita kurang kurang kurang terus. Iya yang namanya manusia memang banyak kekurangan, namun kekurangan yang ada bukan untuk di kata-katain bukan untuk dihindari dan diusir-usir pergi, tapi untuk ditemani dan diterima keberadaanya. Emang prakteknya ngga mudah, mumpung lagi sadar makanya coba aku tulis. Agar sewaktu-waktu kalau down, tulisan ini bisa dibaca kembali jadi teman refleksi biar down nya ngga berlarut-larut.

Selamat refleksi, selamat menemukan bagian-bagian dalam diri yang ternyata menguatkan dan membuatmu lebih berdaya.

Salam..

Minggu, 25 Juli 2021

Memaafkan

 

memaafkan adalah mengambil pisau dari hatimu dan tidak menggunakanya untuk melukai orang lain, ngga peduli segimanapun mereka melukai dirimu. sayangnya itu bukan aku. 

Dulu, aku adalah manusia yang agak susah, eh lama untuk memaafkan kesalahan orang lain. Rasanya langsung memaafkan orang lain ketika berbuat kesalahan adalah keputusan yang nggak bijak samasekali, iyalah enak aja. Sesorang sudah melakukan kesalahan dalam hidup kita masa di maafin gitu aja, yang ada di pikiranku Cuma biarin aja biar dia merasa bersalah atas perilaku mapun perkataanya yang sudah menyakiti sesamanya. Dengan membuat ia terus merasa bersalah rasanya ada kepuasan tersendiri. Karena aku rasa setiap ada kekeliruan yang orang lain perbuat ke kita yaa semua kesalahan ada pada dia, dan kita adalah pihak yang dirugikan. Parah emang ego nya gede banget.

Tapi sekarang rasanya udah capek, sepertinya dulu aku gagal melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang. Aku hanya melihat kesalahan dari satu sisi, yaitu dari si pelaku kesalahan tersebut. Harusnya bisa lebih bijak, bisa jadi karena aku juga menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi, atau mungkin yang nglakuin kesalahan juga ngga sengaja bahkan terpaksa. Saat itu aku juga belum ngerti kalau ngga semua yang ada di dunia ini bisa kita kendalikan termasuk perilaku dan perspektif orang lain terhadap kita. Kita ngga bisa ngatur sikap atau perilaku seseorang untuk harus selalu baik ke kita, kita Cuma punya kendali buat merespon itu semua sebijak mungkin. Selain itu aku pun belum bisa menerima kalau jangan-jangan aku juga bersalah dalam kekeliruan tersebut. Sulit sekali rasanya mengakui kalau aku juga berpeluang melakukan kesalahan.

Sampai suatu hari ngga sengaja liat live ig dari salah seorang psikolog yang mengatakan bahwa memaafkan itu sebenernya bukan tentang membebaskan pelaku kesalahan terbebas dari kesalahanya, melainkan membebaskan diri sendiri dari emosi negative yang ada pada diri sendiri. Masuk akal sih sebenernya, ngerti kan gimana sih rasanya kalau lagi sebel sama orang karena mereka punya ‘kesalahn’, rasanya ada emosi, kesel, sakit hati dll, emosi negative semua pokonya hati isinya. Tapi memang susah diawal untuk diterima, namun lama-lama sadar juga (dikit). Dengan dalih oh iya ya rasanya kasian juga sama hati dan pikiran sendiri kalau isinya negative semua, ngga mau dong.

Sampe ahirnya mau coba meski berat. Sekarang yang jadi fokus bukan mengingat kesalahan mereka, tapi lebih ke mengurangi emosi-emosi negative yang ada dalam diri sendiri. Lebih jauh lagi ternyata memaafkan bukan tentang berdamai dengan orang lain, tapi bagaimana berdamai dengan diri sendiri untuk tidak terus membiarkan emosi negative itu ada. Ngga terus-terusan ngasih makan ego. Lalu bagaimana dengan kesalahan yang orang lain udah perbuat?  Yaudah lah yaaa, biar jadi urusan dia dengan dirinya sendiri. Dan sekarang sebenernya aga kasian ketika masih ada orang yang melukai orang lain, karena bisa jadi karena mereka yang melukai justru sedang terluka. Karena mereka belum bisa damai dan menerima luka tersebut, makanya di beberapa kasus justru melampiaskan lukanya untuk melukai orang lain. Karena rasanya ketika mereka sedang tidak bahagia, orang lain pun ngga boleh bahagia. Ini bukan teori, Cuma kebetulan sekilas pernah baca kurang lebih gitu isinya. Dan yang kebetulan baca ini juga ngga harus setuju, semua orang punya journey nya sendiri-sendiri dalam memaafkan baik dengan dirinya sendiri aupun orang lain hehe. Selamat merayakan damai dengan diri sendiri J

Salam,,,

 

 

Minggu, 18 Juli 2021

Belajar yakin

Kalo ditakar pake akal manusia, harusnya sulitku sudah bertemu dengan mudahnya, sedihku sudah bertemu dengan bahagianya, pahitku sudah bertemu dengan manisnya. Karena katanya bersama kesulitan ada kemudahan, setelah duka yang berkepanjangan ada bahagia tak terkira, setelah penantian panjang ada puncak pertemuan yang manis wkwk.  Tapi kenapa kok kayanya pahit terus yaa, masalah kok ngga kelar-kelar, harus sabar terus sampe kapan ? Sebagian dari kita mungkin pernah berfikir demikian, termasuk aku sendiri. Namun begitulah keterbatasan akal, ia hanya mampu menjangkau hal-hal yang rasional alias masuk akal. Lalu kalau udah gitu harus gimana?

Begini katanya, apabila dilihat dari sudut pandang agama (islam), eh mau disclaimer dulu, karena yang nulis bukan ahlinya jadi ingetin kalau ada yang keliru hehe. Lanjut, ngga semua kejadian dan fakta bisa diterima dengan akal, adakalanya harus diterima dengan hati (iman) atau keyakinan bahwa selalu ada kebaikan Tuhan dalam setiap ritme kehidupan yang terjadi. Kita coba ambil contoh paling sederhana, dalam banyak kasus ada yang merasa sudah doa dan berusaha dengan maksimal, tapi hasilnya kok ngga sesuai harapan? Justru yang terjadi malah sebaliknya. Kalau udah gitu masa mau nyalahin keadaan, apalagi nyalahin Tuhan kan ngga mungkin. Memang ngga mudah, makanya perlu latihan. Harus tetep yakin ada kebaikan dalam setiap hal yang ngga mengenakkan itu agak sulit diawal, karena rada abstrak gitu. Bayangin aja, lagi sedih-sedihnya, lagi kesel-keselnya tapi tetep harus yakin pasti ada kebaikan Tuhan didalamnya. Kan perlu sabar ngga tuh?. yaudah Tarik nafas dulu, biar tenang hehe.

Kita kembalikan lagi pada konsep Tuhan pasti menginginkan yang terbaik bagi makhluknya, meski kadang disampaikan melalui sesuatu yang menurut manusia ngga enak, pahit. Entah lewat sakit, kehilangan, tiba-tiba dirumahkan dari pekerjaan dan sebagainya. Kadang bungkusnya doang jelek isinya mah bagus. Ngga akan ada kehilangan melainkan menjadikan kekuatan dan dapat banyak pelajaran berharga setelahnya. Lewat patah hati juga gitu, ada pesan kemandirian, kekuatan untuk bangkit dan kehati-hatian dalam memilih terbungkus didalamnya, katanya sih gitu wkwk. Itu Cuma sebagian contoh, masih banyak banget kejadian serupa yang mungkin dialami temen-temen.

Dan ternyata, menurutku ini semua selaras dengan ajaran dalam filsafat stoa yang lahir ribuan tahun lalu tentang dikotomi kendali. Maksudnya bahwa dalam hidup ada sebagian hal yang dibawah kendali kita, dan sebagian lagi bukan dibawah kendali kita alias kita ngga bisa ngendaliin itu semua untuk terjadi sesuai keinginan kita. Dalam filsafat tersebut dikatakan bahwa yang berada dalam kendali kita hanyalah pikiran kita, tindakan dan perspektif kita, dan sisanya bukan dibawah kendali kita. Sebenernya aga panjang penjelasanya, semoga ada kesempatan buat membahas nya secara terpisah. Berkaitan dengan hal diatas, hidup yang sedang kita jalani sekarang ngga semuanya bisa kita atur harus terjadi sesuai apa yang kita inginkan, ada intervensi Tuhan dan makhluk lain didalamnya. Oleh karena itu bisa dikatakan semua yang terjadi bukan dibawah kendali kita, jadi ngga bisa tuh sebenernya kita balik menyalahkan apa atau siapa ketika semuanya terjadi ngga sesuai keinginan. Tapi kita punya persepsi yang jelas-jelas dibawah kendali kita untuk bagaimana merespon semua hal yang terjadi. Emosi yang timbul kemudian tergantung bagaimana kita menanggapi sebuah kejadian, bisa aja ketika kita gagal kita akan berfikir bahwa semua kesalahan ada pada diri sendiri, mungkin karena aku kurang ini kurang itu dan lain sebagainya sehingga emosi yang timbul pun jadi down berkepajangan. Lain hal ketika kita menyadari bahwa kegagalan dan keberhasilan ngga sepenhnya dibawah kendali kita, ada banyak makhluk yang andil yang dapat mempengaruhinya. Sehingga ketika kita gagal, kita sadar bahwa bukan sepenuhnya kesalahan ada dalam diri kita. Emosi yang dihasilkan pun jauh lebih positif.

Kurang lebih si gitu, yaaa semoga aja kita bisa senantiasa melihat kebaikan dan kasih sayang Tuhan dalam kejadian maupun fakta segetir apapun itu, dan bisa lebih jeli melihat apa yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan demi menjadi dewasa yang lebih waras dan santuy, hehe

Salam…   

 

Jumat, 09 Juli 2021

Definisi bahagia

 Mungkin ini receh, klise. Mendengar kata bahagia aja kadang yang terbersit ‘ah apaansi, basi’. Tapi pernah ngga si bertanya sama diri sendiri ketika orang-orang berbondong-bondong mencari kebahagiaan hidup, mencari kebahagiaan sejati, dan bagi mereka yang ditanya apa sih yang dicari dalam hidup? kemudian menjawab ‘kebahagiaan’. Atau mungkin yang sering baca atau nulis ‘jangan lupa bahagiaaaa’. Sebenernya bahagia itu makhluk apa? Apa ada wujudnya? Bentuknya gimana? Dan apakah bahagia bisa dan harus dicari?.

Menurut KBBI atau kamus besar Bahasa Indonesia, bahagia diartikan sebagai  keadaan atau perasaan senang dan tentram (bebas dari segala yang menyusahkan). Menyusahkan disini kondisonal sih menurutku, karena setiap orang akan berbeda dalam mendefinisikanya, dan it’s okay. Kalau kata om herry dalam bukunya ‘filosofi teras’, bahagia bisa diartikan ketika kita bisa bebas dari emosi-emosi negative seperti marah, sedih, kesal, susah, iri dll, atau mungkin juga bisa diartikan ketika kita bisa damai sama hidup apapun yang sedang menimpa dan dialaminya, sehingga bisa menimbulkan ketenangan. 

Lalu dari mana datangnya bahagia? Perlu dicari atau sebenernya udah ada? Apa saja yang bisa mempengaruhi kebahagiaan seseorang?. Sejauh ini ada beberapa pendapat yang masih aga nyangkol dikepala entah yang keetulan baca atau nonton influencer andalan di youtube haha. Pendapat pertama yang ngga sengaja baca dari buku ‘The labyrinth’ yang ditulis oleh syarifah muda, ia mengatakan bahwa sebenernya kebahagiaan itu ada di dekat kita, ia ngga pernah pergi jauh-jauh dari kita. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang jauh sehingga harus dicari dan di kejar. Dalam praktiknya, karena kita terlalu terpaku, terobsesi mencari kebahagiaan , sehingga kita lupa kalau kita punya kebahagiaan itu namun tidak kita sadari. Sebagai contoh mulai dari hal kecil seperti melihat orang tua yang kita sayang tersenyum, dikelilingi oran-orang baik, bisa tidur nyenyak, makan bakso abis ujan-ujanan, nemu buku bagus dll. Itu semua kebahagiaan, akan tetapi sering luput dari pikiran.

Pendapat kedua dari seorang influencer dan content creator andalan sejagat raya wkwk, sebut nama jangan? Beberapa dari kalian mungkin sudah bisa nebak, sempat beberapa kali juga aku posting. Sebenernya bukan ke definisi bahagia sih, lebih ke ada beberapa hal atau aktivitas atau guide buat bahagia itu bisa timbul kali yaaaa. Dalam videonya ada 16 hal yang bisa bantu bisa bikin kita bahagia. Well, mungkin ngga akan disebutkan juga semuanya disini, kalian bisa pelajari dan tonton sendiri nanti hehe. Yang paling aku inget dan aku garis bawahi sih perihal men-upgrade dan mengembangkan diri bisa bikin kita bahagia. Entah mengembangkan diri dalam hal ilmu, sikap, cara berfikir dll yang bisa kita peroleh dengan membaca, nonton, coba jadi lebih disiplin dll. Dengan melakukan ha-hal tersebut setidaknya kita coba buat perbaiki dan mengembangkan diri kita menjadi lebih baik. Terlepas dari hasilnya gimana juga yang penting udah coba buat perbaiki. Nah dari situ kita bisa ngrasain happy, hal-hal yang tadinya kita ngga tau karena cari tau jadi ngerti dan sebagainya. Kalu udah gitu siapa sih yang ngga seneng?. Tapi ya itu Cuma satu, masih ada 15 hal lagi yang bisa kalian coba dan kali aja cocok hehe, selamat menonton.

Pendapat terahir yaitu dari ajaran-ajaran filsafat yunani-romawi kuno atau biasa di sebut dengan filsafat stoa yang berhasil ditulis dan disampaikan dengan ringan dan mengasyikan oleh penulis bernama Henry Manampiring dalam sebuah judul ‘Filosofi Teras’. Untuk kali ini mungkin lebih ke mengatur mindset tentang bahagia itu tadi. Dan bisa dibilang ini adalah salah buku favorit sepanjang hidup sih, bener-bener bantu ngatur mindset biar aga waras ngadepin hidup, mengurangi emosi-emosi negatif dan rekomendasi banget deh buat seluruh makhluk jagat raya di bumi haha. Untuk sekilas definisi kebahagiaan menurut beliau sudah disampaikan diawal. Selanjutnya, dalam buku ini dijelaskan bahwa ngga rasional ketika meletakkan kebahagiaan pada apa-apa yang bersifat fana, yang kapanpun bisa direnggut dari diri kita. Masa bahagia kita bergantung pada sesuatu yang berada diluar diri kita sendiri?.

Dalam buku ini dicontohkan mengenai benda atau apapun yang bikin kita bahagia, oke lah kita bisa kok enjoy sama hal-hal duniawi, silahkan menikmati rezeki yang sudah didapatkan, tetapi selalu mengingatkan diri sendiri untuk tidak bergantung padanya dan melihatnya dengan apa adanya. Kita senang punya pekerjaan bagus, smarthphone mahal, terlahir cantik/ganteng, bisnis sukses, punya suami ganteng/istri cantik, punya sahabt, anak/orang tua yang baik dll. Syukurlah semua itu ada, tapi jangan lupa ingatkan diri kita bahwa sesungguhnya itu semua hanyalah sebuah ‘pekerjaan’ hanya sebuah “smarthphone” hanya sebuah “keberuntungan fisik” hanya seorang cowo ganteng/cewek cantik-dan bahwa itu semua bisa hilang sewaktu-waktu karena tidak (sepenuhnya) dibawah kendali kita dan bahwa kita MAMPU merasa tenang/bahagia tanpa itu semua. Ini bukan berarti ngga bersyukur yaa, itu beda kasus. Bisa dibahas dilain waktu kalau sempat. Memang ini ngga mudah sih, perlu latihan mulai dari hal terkecil.

Okeh, kok jadi apanjang begini haha. Initinya sih gaada yang salah dari ketiga prespektif diatas. Semuanya bener, semuanya baik sebagai usaha menemui bahagianya masing-masing. Mungkin aku bisa sedikit menyimpulkan bahwa kalau ngomongin bahagia sebenernya sangat relative, nggabisa dipukul rata hars begini atau begitu. Semua orang bisa dan berhak mendefinisikan bahagianya masing-masing, dan it’s okay ketika masing-masing dari kita punya standar bahagia yang berbeda. yang penting menurutku, untuk jadi bahagia kita harus sebegitunya bahkan sampai harus menyusahkan diri sendiri dengan standar-standar bahagia yang terlalu tinggi dan ngga rasional, jangan sampai kita kehilangan sesuatu dulu baru sadar bahwa ada bahagia-bahagia kecil yang tidak kita sadari dan lupa kita syukuri. Udah si gitu ajaa, mari definisikan bahagia kita masing-masing, jangan biarkan orang lain yang mendikte kebahagiaan kita. Karena rasanya mustahil bisa memberi bahagia yang tulus ke orang lain jika belum selesai dengan bahagia kita sendiri.

Salam…

 

Senin, 05 Juli 2021

Perempuan dan kepintaran

 

Ketika ada laki-laki pintar mengapa jadi wow, sedangkan ketika ada perempuan pintar dan berdaya mengapa jadi ‘perempuan jangan pinter-pinter nanti susah dapat jodoh, atau nanti ngeyel susah diatur bahkan di beberapa kasus perempuan pintar dianggap berbahaya dan nyaris dihindari. Tulisan ini dikembangkan dari salah satu bab dalam sebuah buku yang di tulis oleh ibu Najeela Shihab yang berjudul ‘Cinta untuk perempuan yang tidak sempurna’.

Nggatau si gimana asal muasal dan sejarahnya mengapa karakter kepintaran dianggap berlawanan dengan perempuan. Mengapa mindset yang muncul justru akan ngeyel susah diatur dan sebagainya. Tidak jarang stigma-stigma tersebut sering menjadi penghambat keinginan belajar dan menggali pengetahuan lebih dalam. Padahal namanya mencari ilmu itu katanya wajib bagi laki-laki mapun perempuan, Tuhan sudah menciptakan banyak ilmu di bumi ini, jadi aga mubadzir aja kalau ngga coba cari tau meski secuil. Lagipula bukan nya berilmu dan berpengetahuan adalah hal yang positif terlepas dari dia laki-laki atau perempuan?.

Berilmu dan berpengetahuan disini cakupanya sangat luas dan tidak terbatas hanya diruang kelas alias dalam bidang akdemik saja, melainkan kesabaran, kecerdasan spiritual, emosi,  maupun social juga patut dipertimbangkan didalamnya. Kalau kata maudy, terlalu na’if jika kepintaran seseorang hanya diukur dari sisi akademik, tetapi juga masuk didalamnya ada kecerdasan emosi,juga bagaimana mengontrol diri yang justru sangat diperlukan ketika menghadapi sebuah konflik.

Dalam kasus relasi berpasangan, menurut Bu Ela perempuan pintar bukan satu-satunya syarat berhasil dan gagalnya sebuah hubungan, bukan satu dimensi yang menggambarkan kompleksnya relasi. Untuk laki-laki dan perempuan, hubungan bukan pendaftaran pertandingan otak, tetapi pilihan harian untuk saling menambah kebahagiaan. Namun, dalam banyak situasi, hubungan menjadi kumpulan interaksi yang dinilai seperti kompetisi yang diwarnai dengan iri. Saat ini-lah hubungan apapun yang melibatkan individu dengan tingkat inteligensi seberapa-pun akan menjadi rapuh.

Ada satu ungkapan dalam bab ini yang menyatakan bahwa ‘kepintaran sering meninggikan harapan kita kepada pasangan dan diri sendiri secara berlebihan, mengharapkan kesempurnaan. Padahal, bagaimana kita menghadapi kekcewaan dan cepat memaafkan, justru indikator utama kekuatan dalam hubungan’. Dalam banyak situasi, ia yang mengaku berpendidikan akan mencari pasangan yang berpendidikan pula atau minimal setara. Atau mungkin menaruh ekspektasi berlebihan kepada pasangan dengan dalih karena kamu kan berilmu, berpengetahuan dan sebagainya sehingga harus mampu menyelesaikan setiap konflik yang dihadapi. Ia lupa bahwa definisi pintar dan berpengetahuan itu multidimensi, ngga bisa dipukul rata dengan patokan hanya pada bidang akademik.

Tulisan ini bukanlah sebuah kesimpulan, melainkan bertujuan untuk memantik diskusi kepada siapapun yang kebetulan baca. Mari kita support bagi siapapun disekitar kita khususnya perempuan bahwa perempuan dan pendidikan bisa kok berjalan beriringan tanpa takut dan terhambat oleh berbagai stigma negatif yang berkaitan dengan nya.

Salam..

 

Memaafkan

Setiap orang pasti memiliki cerita dan proses untuk memaafkan. Baik memaafkan keadaan, memaafkan seseorang, dirinya sendiri dan lain sebagai...