Setiap orang pasti memiliki cerita dan proses untuk memaafkan. Baik memaafkan keadaan, memaafkan seseorang, dirinya sendiri dan lain sebagainya. Proses yang mungkin nggak mudah bagi sebagian orang, butuh waktu dan effort yang nggak main-main. Bahkan kerap mengorbankan fokus sehingga kurang maksimal mengerjakan apa yang lagi di adepin sekarang.
Tapi ya,
begitulah prosesnya. Hasilnya bakal kerasa nanti. Kalau udah bisa lewatin,
kalau udah bisa memaafkan dan damai sama semuanya. Kita akan merasa jauh lebih
kuat dan berdaya dari sebelumnya. Dan bisa jadi kita justru akan berterima
kasih pada keadaan yang tadinya susah diterima dan dimaafkan.
Kenapa aku
bisa ngomong gini? Karena ya itu yang dirasain kalau abis damai sama keadaan
yang rasanya sulit dimaafkan. Kita merasa seolah ada kekuatan baru dari proses kecewa
sebelumnya. Tapi ya, bukan berarti kedepanya pas kecewa langsung bisa
simsalabim sembuh dan damai gitu aja. Setiap kecewa punya waktu dan prosesnya
masing-masing. Tapi agak mendingan kalau udah pernah pelajari dan ketemu pola
healing nya gimana. Jadi nggak terlalu larut dalam kekecewaan, aseeek.
Gini. Dulu,
aku adalah manusia yang agak susah, eh lama untuk memaafkan kesalahan orang
lain. Rasanya langsung memaafkan orang lain ketika mereka berbuat kesalahan atau
mengecewakan kita adalah keputusan yang nggak bijak samasekali. Iyalah enak
aja. Sesorang sudah melakukan kesalahan dalam hidup kita masa di maafin gitu
aja, yang ada di pikiranku Cuma biarin aja, biar dia merasa bersalah atas
perilaku maupun perkataanya yang sudah menyakiti sesamanya. Dengan membuat ia
terus merasa bersalah rasanya ada kepuasan tersendiri. Karena aku rasa setiap
ada kekeliruan yang orang lain perbuat ke kita yaa semua kesalahan ada pada
dia, dan kita adalah pihak yang dirugikan. Parah emang ego nya gede banget.
Tapi
sekarang rasanya udah capek, sepertinya dulu aku gagal melihat permasalahan
dari berbagai sudut pandang. Aku hanya melihat kesalahan dari satu sisi, yaitu
dari si pelaku kesalahan tersebut. Harusnya bisa lebih bijak, bisa jadi karena
aku juga menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi, atau mungkin yang nglakuin
kesalahan juga ngga sengaja bahkan terpaksa. Jadi ya, harus sama-sama
introspeksi. Saat itu aku juga belum menyadari kalau ngga semua yang ada di
dunia ini bisa kita kendalikan, termasuk perilaku dan perspektif orang lain
terhadap kita. Kita ngga bisa ngatur sikap atau perilaku seseorang untuk harus
selalu baik ke kita, kita cuma punya kendali bagaimana merespon itu semua
sebijak mungkin. Selain itu, aku pun belum bisa menerima kalau jangan-jangan
aku juga bersalah dalam kekeliruan tersebut. Sulit sekali rasanya mengakui
kalau aku juga berpeluang melakukan kesalahan.
Sampai
suatu hari ngga sengaja liat live ig dari salah seorang psikolog yang
mengatakan bahwa memaafkan itu sebenernya bukan tentang membebaskan pelaku
kesalahan terbebas dari kesalahanya, melainkan membebaskan diri sendiri dari
emosi negative yang ada pada diri sendiri. Bayangin, apa yang kita rasakan
ketika memendam kekecewaan pada orang lain? Udah pasti isinya kesel, marah,
benci dan lain sebagainya. Kebayang nggak, kalau perasaan itu terus menumpuk
dalam hati dalam waktu yang lama misalnya. Apa nggak jadi penyakit?.
Terus gimana
cara menghilangkan nya? Ya, maafkan. Dengan memaafkan kita akan coba terima
keadaan dan kenyataan yang terjadi memang seperti itu. Tidak terus berpaku pada keadaan yang seharusnya
terjadi, “ih harusnya gitu, ngga gini”, dan lain sebagainya. Kita coba terima
keadaan yang terjadi, bukan yang seharusnya terjadi. Karena memaafkan adalah pilihan. Pilihan kita
untuk tidak membiarkan emosi-emosi negatif itu bersemayam lebih lama dalam
hati.
Masuk
akal sih sebenernya, ngerti kan gimana sih rasanya kalau lagi sebel sama orang
karena mereka punya ‘kesalahn’, rasanya ada emosi, kesel, sakit hati dll, emosi
negative semua dah pokonya. Tapi memang susah diawal untuk diterima, namun lama-lama
sadar juga. Dengan dalih oh iya ya rasanya kasian juga sama hati dan pikiran
sendiri kalau isinya negative semua, ngga mau dong. Apakah prosesnya nggak
mudah? Pastinya.
Sampe
ahirnya mau coba meski berat. Sekarang yang jadi fokus bukan mengingat
kesalahan mereka, tapi lebih ke mengurangi emosi-emosi negative yang ada dalam
diri sendiri. Lebih jauh lagi ternyata memaafkan bukan tentang berdamai dengan
orang lain, tapi bagaimana berdamai dengan diri sendiri untuk tidak terus
membiarkan emosi negative itu ada. Ngga terus-terusan ngasih makan ego. Lalu
bagaimana dengan kesalahan yang orang lain udah perbuat? Yaudah lah yaaa, biar jadi urusan dia dengan
dirinya sendiri. Lagian mau sekuat apapaun kita denial, kita ngga bisa
mengendalikan orang lain buat ngga ngecewain kita. Kita Cuma bisa coba damai
dan memaafkan itu semua.
Dan satu
lagi, ada kekecewaan yang di sebabkan karena ekspektasi kita terlalu tinggi
terhadap sesuatu, ada juga karena memang disebabkan atas luka yang orang lain
torehkan. Jadi, mari sama-sama belajar untuk lebih bijak mencari akar
permasalahan sebelum kita menyalahkan. Kalau memang disebabkan karena
ekspektasi yang terlalu tinggi mungkin kita bisa coba turunkan. Namun ketika
disebabkan oleh luka yang orang lain torehkan, coba kita belajar sedikit
berempati. Karena tidak jarang mereka yang melukai justru sedang terluka. Mereka
belum bisa damai dan menerima luka tersebut, hingga ahirnya justru melampiaskan
lukanya untuk melukai orang lain.
Ini bukan
teori, Cuma analisis dangkal dari seorang penulis buku yang aku pun
menyetujuinya hehe. Dan yang kebetulan
baca ini juga ngga harus setuju, semua orang punya proses nya sendiri-sendiri
dalam memaafkan dan berdamai dengan sebuah keadaan. Selamat merayakan har-hari
yang lebih ringan dan lebih damai, heheJ
Salam,,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar