Senin, 02 Mei 2022

Memaafkan



Setiap orang pasti memiliki cerita dan proses untuk memaafkan. Baik memaafkan keadaan, memaafkan seseorang, dirinya sendiri dan lain sebagainya. Proses yang mungkin nggak mudah bagi sebagian orang, butuh waktu dan effort yang nggak main-main. Bahkan kerap mengorbankan fokus sehingga kurang maksimal mengerjakan apa yang lagi di adepin sekarang.

Tapi ya, begitulah prosesnya. Hasilnya bakal kerasa nanti. Kalau udah bisa lewatin, kalau udah bisa memaafkan dan damai sama semuanya. Kita akan merasa jauh lebih kuat dan berdaya dari sebelumnya. Dan bisa jadi kita justru akan berterima kasih pada keadaan yang tadinya susah diterima dan dimaafkan.

Kenapa aku bisa ngomong gini? Karena ya itu yang dirasain kalau abis damai sama keadaan yang rasanya sulit dimaafkan. Kita merasa seolah ada kekuatan baru dari proses kecewa sebelumnya. Tapi ya, bukan berarti kedepanya pas kecewa langsung bisa simsalabim sembuh dan damai gitu aja. Setiap kecewa punya waktu dan prosesnya masing-masing. Tapi agak mendingan kalau udah pernah pelajari dan ketemu pola healing nya gimana. Jadi nggak terlalu larut dalam kekecewaan, aseeek.

Gini. Dulu, aku adalah manusia yang agak susah, eh lama untuk memaafkan kesalahan orang lain. Rasanya langsung memaafkan orang lain ketika mereka berbuat kesalahan atau mengecewakan kita adalah keputusan yang nggak bijak samasekali. Iyalah enak aja. Sesorang sudah melakukan kesalahan dalam hidup kita masa di maafin gitu aja, yang ada di pikiranku Cuma biarin aja, biar dia merasa bersalah atas perilaku maupun perkataanya yang sudah menyakiti sesamanya. Dengan membuat ia terus merasa bersalah rasanya ada kepuasan tersendiri. Karena aku rasa setiap ada kekeliruan yang orang lain perbuat ke kita yaa semua kesalahan ada pada dia, dan kita adalah pihak yang dirugikan. Parah emang ego nya gede banget.

Tapi sekarang rasanya udah capek, sepertinya dulu aku gagal melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang. Aku hanya melihat kesalahan dari satu sisi, yaitu dari si pelaku kesalahan tersebut. Harusnya bisa lebih bijak, bisa jadi karena aku juga menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi, atau mungkin yang nglakuin kesalahan juga ngga sengaja bahkan terpaksa. Jadi ya, harus sama-sama introspeksi. Saat itu aku juga belum menyadari kalau ngga semua yang ada di dunia ini bisa kita kendalikan, termasuk perilaku dan perspektif orang lain terhadap kita. Kita ngga bisa ngatur sikap atau perilaku seseorang untuk harus selalu baik ke kita, kita cuma punya kendali bagaimana merespon itu semua sebijak mungkin. Selain itu, aku pun belum bisa menerima kalau jangan-jangan aku juga bersalah dalam kekeliruan tersebut. Sulit sekali rasanya mengakui kalau aku juga berpeluang melakukan kesalahan.

Sampai suatu hari ngga sengaja liat live ig dari salah seorang psikolog yang mengatakan bahwa memaafkan itu sebenernya bukan tentang membebaskan pelaku kesalahan terbebas dari kesalahanya, melainkan membebaskan diri sendiri dari emosi negative yang ada pada diri sendiri. Bayangin, apa yang kita rasakan ketika memendam kekecewaan pada orang lain? Udah pasti isinya kesel, marah, benci dan lain sebagainya. Kebayang nggak, kalau perasaan itu terus menumpuk dalam hati dalam waktu yang lama misalnya. Apa nggak jadi penyakit?.

Terus gimana cara menghilangkan nya? Ya, maafkan. Dengan memaafkan kita akan coba terima keadaan dan kenyataan yang terjadi memang seperti itu. Tidak  terus berpaku pada keadaan yang seharusnya terjadi, “ih harusnya gitu, ngga gini”, dan lain sebagainya. Kita coba terima keadaan yang terjadi, bukan yang seharusnya terjadi.  Karena memaafkan adalah pilihan. Pilihan kita untuk tidak membiarkan emosi-emosi negatif itu bersemayam lebih lama dalam hati.

Masuk akal sih sebenernya, ngerti kan gimana sih rasanya kalau lagi sebel sama orang karena mereka punya ‘kesalahn’, rasanya ada emosi, kesel, sakit hati dll, emosi negative semua dah pokonya. Tapi memang susah diawal untuk diterima, namun lama-lama sadar juga. Dengan dalih oh iya ya rasanya kasian juga sama hati dan pikiran sendiri kalau isinya negative semua, ngga mau dong. Apakah prosesnya nggak mudah? Pastinya.  

Sampe ahirnya mau coba meski berat. Sekarang yang jadi fokus bukan mengingat kesalahan mereka, tapi lebih ke mengurangi emosi-emosi negative yang ada dalam diri sendiri. Lebih jauh lagi ternyata memaafkan bukan tentang berdamai dengan orang lain, tapi bagaimana berdamai dengan diri sendiri untuk tidak terus membiarkan emosi negative itu ada. Ngga terus-terusan ngasih makan ego. Lalu bagaimana dengan kesalahan yang orang lain udah perbuat?  Yaudah lah yaaa, biar jadi urusan dia dengan dirinya sendiri. Lagian mau sekuat apapaun kita denial, kita ngga bisa mengendalikan orang lain buat ngga ngecewain kita. Kita Cuma bisa coba damai dan memaafkan itu semua.

Dan satu lagi, ada kekecewaan yang di sebabkan karena ekspektasi kita terlalu tinggi terhadap sesuatu, ada juga karena memang disebabkan atas luka yang orang lain torehkan. Jadi, mari sama-sama belajar untuk lebih bijak mencari akar permasalahan sebelum kita menyalahkan. Kalau memang disebabkan karena ekspektasi yang terlalu tinggi mungkin kita bisa coba turunkan. Namun ketika disebabkan oleh luka yang orang lain torehkan, coba kita belajar sedikit berempati. Karena tidak jarang mereka yang melukai justru sedang terluka. Mereka belum bisa damai dan menerima luka tersebut, hingga ahirnya justru melampiaskan lukanya untuk melukai orang lain.

Ini bukan teori, Cuma analisis dangkal dari seorang penulis buku yang aku pun menyetujuinya hehe.  Dan yang kebetulan baca ini juga ngga harus setuju, semua orang punya proses nya sendiri-sendiri dalam memaafkan dan berdamai dengan sebuah keadaan. Selamat merayakan har-hari yang lebih ringan dan lebih damai, heheJ

Salam,,,

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memaafkan

Setiap orang pasti memiliki cerita dan proses untuk memaafkan. Baik memaafkan keadaan, memaafkan seseorang, dirinya sendiri dan lain sebagai...