Ketika ada laki-laki pintar mengapa jadi wow,
sedangkan ketika ada perempuan pintar dan berdaya mengapa jadi ‘perempuan jangan
pinter-pinter nanti susah dapat jodoh, atau nanti ngeyel susah diatur bahkan di
beberapa kasus perempuan pintar dianggap berbahaya dan nyaris dihindari. Tulisan
ini dikembangkan dari salah satu bab dalam sebuah buku yang di tulis oleh ibu
Najeela Shihab yang berjudul ‘Cinta untuk perempuan yang tidak sempurna’.
Nggatau si gimana asal muasal dan sejarahnya mengapa
karakter kepintaran dianggap berlawanan dengan perempuan. Mengapa mindset yang
muncul justru akan ngeyel susah diatur dan sebagainya. Tidak jarang
stigma-stigma tersebut sering menjadi penghambat keinginan belajar dan menggali
pengetahuan lebih dalam. Padahal namanya mencari ilmu itu katanya wajib bagi
laki-laki mapun perempuan, Tuhan sudah menciptakan banyak ilmu di bumi ini,
jadi aga mubadzir aja kalau ngga coba cari tau meski secuil. Lagipula bukan nya
berilmu dan berpengetahuan adalah hal yang positif terlepas dari dia laki-laki atau
perempuan?.
Berilmu dan berpengetahuan disini cakupanya sangat
luas dan tidak terbatas hanya diruang kelas alias dalam bidang akdemik saja,
melainkan kesabaran, kecerdasan spiritual, emosi, maupun social juga patut dipertimbangkan
didalamnya. Kalau kata maudy, terlalu na’if jika kepintaran seseorang hanya
diukur dari sisi akademik, tetapi juga masuk didalamnya ada kecerdasan emosi,juga
bagaimana mengontrol diri yang justru sangat diperlukan ketika menghadapi
sebuah konflik.
Dalam kasus relasi berpasangan, menurut Bu Ela
perempuan pintar bukan satu-satunya syarat berhasil dan gagalnya sebuah
hubungan, bukan satu dimensi yang menggambarkan kompleksnya relasi. Untuk laki-laki
dan perempuan, hubungan bukan pendaftaran pertandingan otak, tetapi pilihan
harian untuk saling menambah kebahagiaan. Namun, dalam banyak situasi, hubungan
menjadi kumpulan interaksi yang dinilai seperti kompetisi yang diwarnai dengan
iri. Saat ini-lah hubungan apapun yang melibatkan individu dengan tingkat
inteligensi seberapa-pun akan menjadi rapuh.
Ada satu ungkapan dalam bab ini yang menyatakan bahwa ‘kepintaran
sering meninggikan harapan kita kepada pasangan dan diri sendiri secara
berlebihan, mengharapkan kesempurnaan. Padahal, bagaimana kita menghadapi kekcewaan
dan cepat memaafkan, justru indikator utama kekuatan dalam hubungan’. Dalam banyak
situasi, ia yang mengaku berpendidikan akan mencari pasangan yang berpendidikan
pula atau minimal setara. Atau mungkin menaruh ekspektasi berlebihan kepada
pasangan dengan dalih karena kamu kan berilmu, berpengetahuan dan sebagainya sehingga
harus mampu menyelesaikan setiap konflik yang dihadapi. Ia lupa bahwa definisi pintar
dan berpengetahuan itu multidimensi, ngga bisa dipukul rata dengan patokan
hanya pada bidang akademik.
Tulisan ini bukanlah sebuah kesimpulan, melainkan bertujuan
untuk memantik diskusi kepada siapapun yang kebetulan baca. Mari kita support
bagi siapapun disekitar kita khususnya perempuan bahwa perempuan dan pendidikan
bisa kok berjalan beriringan tanpa takut dan terhambat oleh berbagai stigma negatif
yang berkaitan dengan nya.
Salam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar