Sabtu, 28 Agustus 2021

Intermezzo

 

Ternyata benar, nggak ada yang lebih membahayakan dan mengerikan selain manusia itu sendiri. Manusia kalau udah iri, dengki, keras kepala, egois jauh lebih mengerikan daripada hantu, Nggak terkecuali aku juga sewaktu-waktu berpeluang masuk dalam kategori tersebut. Padahal kita adalah se-sempurna-sempurnanya makhluk, yang dibekali akal dan hati untuk mengontrol setiap tindak tutur kita sendiri. Dan lagian bukankah kita makhluk sosial yang nggak hidup sendiri di hutan yang bisa nglakuin apa aja tanpa perlu memikirkan impact nya bagi manusia lain? (by the way ini bacanya jangan ngegas yaa, karena aku juga nulisnya sambil senyum-senyum karena liat perilaku makhluk-makhluk dibumi yang makin menggemaskan).

Makanya ini jadi penting untuk betul-betul belajar mengenal diri sebagai jembatan untuk ngerti juga sama keadaan manusia lain. Ketika kamu ingin diperlakukan A ya coba perlakukan orang lain seperti apa kamu ingin diperlakukan, begitupun sebaliknya. Yaaa meski perilaku orang lain ngga bisa kita kendalikan, maka dari itu yang harus disentuh adalah kesadaran dalam diri masing-masing. Ini klise, dan mungkin semua orang bisa dengan mudah meng-iyakan. tapi ternyata setuju dengan sebuah pendapat atau statement tertentu juga nggak otomatis mau mempraktekkanya.

Kadang penasaran banget sama perasaan manusia yang suka bertindak tutur semaunya apa nggak ada perasaan nggak enak atau minimal ‘apa yang akan aku katakan dan lakukan ini kira-kira maslahat atau justru berpotensi mengganggu kenyamanan orang lain?’. Sering kali kita merasa benar dan cenderung memaksakan orang lain untuk meyakini kebenaran yang kita yakini tanpa mau menyisakkan secuil ruang untuk menerima sudut pandang orang lain. Padahal kita benar tapi bisa jadi salah dan orang lain salah tapi bisa juga benar.

Dalam kasus lain ketika ada seseorang yang terganggu atas ucapan orang lain meski dengan dalih bercanda, pastilah langsung diserang dengan kalimat ‘ah baperan lu’, ‘ah lu mah nggak santai’ dan lain sebagainya. Padahal ada orang yang terganggu kenyamananya tapi mengapa justru ia juga yang disalahkan?. Kalau baper itu artinya bawa perasaan, terus kalau ada perkataan maupun sikap orang lain seenaknya kita nggak boleh bawa perasaan? Heyy tolong yaaa kita semua ini manusia bukan tembok. Lagian hidup kalau nggak pake perasaan juga hambar. Jangan-jangan budaya kita memang gitu, lebih suka bilang ‘ah baperan lu’ dari pada belajar sadar buat jaga lisan dan jaga sikap.

Oiya ini juga tidak sedang men-generalisasi, masih banyak kok orang-orang baik diluar sana, masih banyak orang-orang yang mau belajar mindful sama sikap dan ucapanya, masih banyak orang yang punya empati. Bagi orang yang Alhamdulillah belum pernah mengalami maupun melihat fenomena seperti ini mungkin berpikiran ini sesuatu yang berlebihan, namun berapa banyak orang diluar sana yang merasakan hal ini tapi terus disembunyikan dan dipendam hanya karena takut dibilang baper atau nggak diterima dilingkungan pertemanan, kerjaan, sosial dan lain sebagainya.

Sebagai manusia kita memang punya kebebasan berekspresi dan melakukan apa yang kita mau, tapi kita juga diberi kedaulatan penuh atas akal dan hati untuk memilih bagaimana mengeskpresikan itu semua sebagaimana mestinya. Dari kecil kita selalu diajarkan untuk kuat, ngga boleh baperan dan ngga usah berlebihan nanggepin orang lain. Tapi jarang diajarkan untuk aware sama apa yang akan kita lakukan, entah perihal dampaknya bagi diri maupun orang lain. Mari menjadi waras tanpa mengganggu kewarasan orang lain.

Salam…

 

2 komentar:

Memaafkan

Setiap orang pasti memiliki cerita dan proses untuk memaafkan. Baik memaafkan keadaan, memaafkan seseorang, dirinya sendiri dan lain sebagai...