Seisi dunia juga tau, ngga ada yang sempurna di dunia
ini. Kalo kata motivator-motivator di tv dan youtube kan justru kesempurnaan
akan ditemukan dalam ketidaksempurnaan yang diterima dengan sempurna.
Jadi gini. Sedikit berbeda dari tulisan-tulisan sebelumnya
yang kebanyakan berisi tentang journey of understanding myself. Tulisan
kali ini lebih ke cari tau apa hal ini adalah perasaan yang wajar atau tidak,
dan mudah-mudahan Setelah ini bisa nemu titik terang yang sedikit menenangkan
entah lewat makhluk yang ternyata sama rasa atau mereka yang jam terbangnya
udah tinggi ngadepin fase recehan begini.
Merasa selalu kurang dalam menjalankan amanah dalam
hal profesi mungkin adalah perasaan yang wajar, tapi kalo berujung overthinking
apa masih bisa dikatakan wajar?. Jadi bu guru misalnya, pertanyaan ‘apa yang
disampaikan ke anak-anak udah sesuai?’ ‘cara menyampaikanya apa udah tepat?’ ‘Kok
mereka ngga mau dengerin ya?’ ‘Kok mereka ngga mau nurut dan malah seenaknya
sendiri ya?’ ‘Gimana kalo dalam jangka waktu sekian minggu, bulan bahkan tahun mereka
tetep belum ngerti?’ Apa masih pantes jadi bu guru?. Perasaan-perasaan insecure
tersebut makin diperkuat saat ketemu anak-anak yang ‘’kelihatanya” lebih tau
dari guru nya. Belum lagi kalau ada trouble dan kekeliruan kenapa pasti yang di
sorot dan dipertanyakan pasti Cuma gurunya? Padahal dalam proses pendidikan anak
juga melibatkan banyak pihak seperti guru, siswa, orang tua, lingkungan, pengalaman
anak dan pola asuh orang tua juga masuk didalamnya. Lagian guru juga manusia
kali yaa, sangat wajar jika melakukan kekeliruan. Ia sama-sama sedang belajar
menjalankan peran barunya. Menjadi guru seolah harus sempurna, selalu benar dan
nggak boleh salah dengan dalih harusnya guru kan serba tau. Haha lucu kadang,
kita juga bukan malaikat lho yaa. Tapi ini juga bukan pembenaran untuk
temen-temen guru enjoy-enjoy aja ketika melakukan kekeliruan, karena keliru
dikit aja juga bisa fatal akibatnya.
Gini yaa, sebagai guru juga ternyata PR nya banyak
banget. ngga cukup harus menguasai bidang spesifik yang diajarkan. Lebih jauh
kita juga harus paham masa tumbuh kembang anak sesuai usia nya, harus belajar lagi bagaimana peran guru, siswa
dan orang tua pada jenjang tertentu, sehingga kita tau betul apa yang sedang
anak butuhkan, batas capaian pengetahuanya sehingga kita bisa menyampaikanya
dengan tepat. Mengapa itu penting? Karena belajar ngga berhenti sebatas
menyampaikan dan menyambung pengetahuan guru ke siswa. Tapi ada jiwa yang harus
tumbuh, ada empati dan kemandirian yang harus terbentuk secara bersamaan didalamnya.
Mengetahui begitu kompleksnya hal tersebut, sangat diperlukan kerja sama dan
support yang baik antar guru, siswa maupun orang tua. Karena menyekolahkan anak
menurutku bukan berarti menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak 100% ke guru
nya. Tetapi orang tua juga berperan besar di dalamnya. Lagi-lagi komunikasi
guru dan orang tua jadi kuncinya. Ngga sedikit orang tua yang complain ke guru
nya karena udah sekian purnama belajar kok anaknya belum bisa ini belum bisa
itu. Banyak dari mereka yang menaruh ekspekstasi tinggi ke anaknya, padahal
emang belum saatnya anaknya bisa ini dan bisa itu, capaian perkembangan pengetahuannya
emang belum bisa sampe situ kalau dilihat dari usia dan stimulasi yang ia
dapatkan dari kecil. Nah banyak banget kan PR nya kita, mari sama-sama belajar sama-sama
menyadari peran diri. Karena menghakimi satu pihak bukanlah solusi.
Bagaimanapun proses didalamnya, tujuan kita sama. Insya
allah dan mudah-mudahan niat dan tujuanya baik dan bener on the right path ya
hehe.
Salam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar