Ternyata benar, nggak ada yang lebih membahayakan dan mengerikan
selain manusia itu sendiri. Manusia kalau udah iri, dengki, keras kepala, egois
jauh lebih mengerikan daripada hantu, Nggak terkecuali aku juga sewaktu-waktu berpeluang
masuk dalam kategori tersebut. Padahal kita adalah se-sempurna-sempurnanya
makhluk, yang dibekali akal dan hati untuk mengontrol setiap tindak tutur kita
sendiri. Dan lagian bukankah kita makhluk sosial yang nggak hidup sendiri di hutan
yang bisa nglakuin apa aja tanpa perlu memikirkan impact nya bagi
manusia lain? (by the way ini bacanya jangan ngegas yaa, karena aku juga
nulisnya sambil senyum-senyum karena liat perilaku makhluk-makhluk dibumi yang
makin menggemaskan).
Makanya ini jadi penting untuk betul-betul belajar mengenal
diri sebagai jembatan untuk ngerti juga sama keadaan manusia lain. Ketika kamu
ingin diperlakukan A ya coba perlakukan orang lain seperti apa kamu ingin
diperlakukan, begitupun sebaliknya. Yaaa meski perilaku orang lain ngga bisa
kita kendalikan, maka dari itu yang harus disentuh adalah kesadaran dalam diri
masing-masing. Ini klise, dan mungkin semua orang bisa dengan mudah
meng-iyakan. tapi ternyata setuju dengan sebuah pendapat atau statement
tertentu juga nggak otomatis mau mempraktekkanya.
Kadang penasaran banget sama perasaan manusia yang
suka bertindak tutur semaunya apa nggak ada perasaan nggak enak atau minimal ‘apa
yang akan aku katakan dan lakukan ini kira-kira maslahat atau justru berpotensi
mengganggu kenyamanan orang lain?’. Sering kali kita merasa benar dan cenderung
memaksakan orang lain untuk meyakini kebenaran yang kita yakini tanpa mau
menyisakkan secuil ruang untuk menerima sudut pandang orang lain. Padahal kita
benar tapi bisa jadi salah dan orang lain salah tapi bisa juga benar.
Dalam kasus lain ketika ada seseorang yang terganggu atas
ucapan orang lain meski dengan dalih bercanda, pastilah langsung diserang
dengan kalimat ‘ah baperan lu’, ‘ah lu mah nggak santai’ dan lain sebagainya. Padahal
ada orang yang terganggu kenyamananya tapi mengapa justru ia juga yang
disalahkan?. Kalau baper itu artinya bawa perasaan, terus kalau ada perkataan
maupun sikap orang lain seenaknya kita nggak boleh bawa perasaan? Heyy tolong
yaaa kita semua ini manusia bukan tembok. Lagian hidup kalau nggak pake
perasaan juga hambar. Jangan-jangan budaya kita memang gitu, lebih suka bilang ‘ah
baperan lu’ dari pada belajar sadar buat jaga lisan dan jaga sikap.
Oiya ini juga tidak sedang men-generalisasi, masih
banyak kok orang-orang baik diluar sana, masih banyak orang-orang yang mau
belajar mindful sama sikap dan ucapanya, masih banyak orang yang punya
empati. Bagi orang yang Alhamdulillah belum pernah mengalami maupun melihat
fenomena seperti ini mungkin berpikiran ini sesuatu yang berlebihan, namun
berapa banyak orang diluar sana yang merasakan hal ini tapi terus disembunyikan
dan dipendam hanya karena takut dibilang baper atau nggak diterima dilingkungan
pertemanan, kerjaan, sosial dan lain sebagainya.
Sebagai manusia kita memang punya kebebasan berekspresi
dan melakukan apa yang kita mau, tapi kita juga diberi kedaulatan penuh atas akal
dan hati untuk memilih bagaimana mengeskpresikan itu semua sebagaimana
mestinya. Dari kecil kita selalu diajarkan untuk kuat, ngga boleh baperan dan
ngga usah berlebihan nanggepin orang lain. Tapi jarang diajarkan untuk aware
sama apa yang akan kita lakukan, entah perihal dampaknya bagi diri maupun orang
lain. Mari menjadi waras tanpa mengganggu kewarasan orang lain.
Salam…