Senin, 02 Mei 2022

Memaafkan



Setiap orang pasti memiliki cerita dan proses untuk memaafkan. Baik memaafkan keadaan, memaafkan seseorang, dirinya sendiri dan lain sebagainya. Proses yang mungkin nggak mudah bagi sebagian orang, butuh waktu dan effort yang nggak main-main. Bahkan kerap mengorbankan fokus sehingga kurang maksimal mengerjakan apa yang lagi di adepin sekarang.

Tapi ya, begitulah prosesnya. Hasilnya bakal kerasa nanti. Kalau udah bisa lewatin, kalau udah bisa memaafkan dan damai sama semuanya. Kita akan merasa jauh lebih kuat dan berdaya dari sebelumnya. Dan bisa jadi kita justru akan berterima kasih pada keadaan yang tadinya susah diterima dan dimaafkan.

Kenapa aku bisa ngomong gini? Karena ya itu yang dirasain kalau abis damai sama keadaan yang rasanya sulit dimaafkan. Kita merasa seolah ada kekuatan baru dari proses kecewa sebelumnya. Tapi ya, bukan berarti kedepanya pas kecewa langsung bisa simsalabim sembuh dan damai gitu aja. Setiap kecewa punya waktu dan prosesnya masing-masing. Tapi agak mendingan kalau udah pernah pelajari dan ketemu pola healing nya gimana. Jadi nggak terlalu larut dalam kekecewaan, aseeek.

Gini. Dulu, aku adalah manusia yang agak susah, eh lama untuk memaafkan kesalahan orang lain. Rasanya langsung memaafkan orang lain ketika mereka berbuat kesalahan atau mengecewakan kita adalah keputusan yang nggak bijak samasekali. Iyalah enak aja. Sesorang sudah melakukan kesalahan dalam hidup kita masa di maafin gitu aja, yang ada di pikiranku Cuma biarin aja, biar dia merasa bersalah atas perilaku maupun perkataanya yang sudah menyakiti sesamanya. Dengan membuat ia terus merasa bersalah rasanya ada kepuasan tersendiri. Karena aku rasa setiap ada kekeliruan yang orang lain perbuat ke kita yaa semua kesalahan ada pada dia, dan kita adalah pihak yang dirugikan. Parah emang ego nya gede banget.

Tapi sekarang rasanya udah capek, sepertinya dulu aku gagal melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang. Aku hanya melihat kesalahan dari satu sisi, yaitu dari si pelaku kesalahan tersebut. Harusnya bisa lebih bijak, bisa jadi karena aku juga menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi, atau mungkin yang nglakuin kesalahan juga ngga sengaja bahkan terpaksa. Jadi ya, harus sama-sama introspeksi. Saat itu aku juga belum menyadari kalau ngga semua yang ada di dunia ini bisa kita kendalikan, termasuk perilaku dan perspektif orang lain terhadap kita. Kita ngga bisa ngatur sikap atau perilaku seseorang untuk harus selalu baik ke kita, kita cuma punya kendali bagaimana merespon itu semua sebijak mungkin. Selain itu, aku pun belum bisa menerima kalau jangan-jangan aku juga bersalah dalam kekeliruan tersebut. Sulit sekali rasanya mengakui kalau aku juga berpeluang melakukan kesalahan.

Sampai suatu hari ngga sengaja liat live ig dari salah seorang psikolog yang mengatakan bahwa memaafkan itu sebenernya bukan tentang membebaskan pelaku kesalahan terbebas dari kesalahanya, melainkan membebaskan diri sendiri dari emosi negative yang ada pada diri sendiri. Bayangin, apa yang kita rasakan ketika memendam kekecewaan pada orang lain? Udah pasti isinya kesel, marah, benci dan lain sebagainya. Kebayang nggak, kalau perasaan itu terus menumpuk dalam hati dalam waktu yang lama misalnya. Apa nggak jadi penyakit?.

Terus gimana cara menghilangkan nya? Ya, maafkan. Dengan memaafkan kita akan coba terima keadaan dan kenyataan yang terjadi memang seperti itu. Tidak  terus berpaku pada keadaan yang seharusnya terjadi, “ih harusnya gitu, ngga gini”, dan lain sebagainya. Kita coba terima keadaan yang terjadi, bukan yang seharusnya terjadi.  Karena memaafkan adalah pilihan. Pilihan kita untuk tidak membiarkan emosi-emosi negatif itu bersemayam lebih lama dalam hati.

Masuk akal sih sebenernya, ngerti kan gimana sih rasanya kalau lagi sebel sama orang karena mereka punya ‘kesalahn’, rasanya ada emosi, kesel, sakit hati dll, emosi negative semua dah pokonya. Tapi memang susah diawal untuk diterima, namun lama-lama sadar juga. Dengan dalih oh iya ya rasanya kasian juga sama hati dan pikiran sendiri kalau isinya negative semua, ngga mau dong. Apakah prosesnya nggak mudah? Pastinya.  

Sampe ahirnya mau coba meski berat. Sekarang yang jadi fokus bukan mengingat kesalahan mereka, tapi lebih ke mengurangi emosi-emosi negative yang ada dalam diri sendiri. Lebih jauh lagi ternyata memaafkan bukan tentang berdamai dengan orang lain, tapi bagaimana berdamai dengan diri sendiri untuk tidak terus membiarkan emosi negative itu ada. Ngga terus-terusan ngasih makan ego. Lalu bagaimana dengan kesalahan yang orang lain udah perbuat?  Yaudah lah yaaa, biar jadi urusan dia dengan dirinya sendiri. Lagian mau sekuat apapaun kita denial, kita ngga bisa mengendalikan orang lain buat ngga ngecewain kita. Kita Cuma bisa coba damai dan memaafkan itu semua.

Dan satu lagi, ada kekecewaan yang di sebabkan karena ekspektasi kita terlalu tinggi terhadap sesuatu, ada juga karena memang disebabkan atas luka yang orang lain torehkan. Jadi, mari sama-sama belajar untuk lebih bijak mencari akar permasalahan sebelum kita menyalahkan. Kalau memang disebabkan karena ekspektasi yang terlalu tinggi mungkin kita bisa coba turunkan. Namun ketika disebabkan oleh luka yang orang lain torehkan, coba kita belajar sedikit berempati. Karena tidak jarang mereka yang melukai justru sedang terluka. Mereka belum bisa damai dan menerima luka tersebut, hingga ahirnya justru melampiaskan lukanya untuk melukai orang lain.

Ini bukan teori, Cuma analisis dangkal dari seorang penulis buku yang aku pun menyetujuinya hehe.  Dan yang kebetulan baca ini juga ngga harus setuju, semua orang punya proses nya sendiri-sendiri dalam memaafkan dan berdamai dengan sebuah keadaan. Selamat merayakan har-hari yang lebih ringan dan lebih damai, heheJ

Salam,,,

 

 

Selasa, 15 Maret 2022

Belajar menerima (lagi)

 


Menikmati sekali hadir penuh merasakan setiap emosi yg hadir sebagai selayaknya manusia. Mulai dr seneng, sedih, kesel, ngeluh, semangat, males, bahkan cinta dan lain sebagainya. Menutup telinga dari suara yang mengatakan 'ngga boleh keliatan sedih', 'ngga boleh baperan', 'hidup itu harus seneng terus', 'ngga usah menampakkan luka' dsb, yang semuanya justru berpotensi melukai banyak orang. Berusaha ngga mudah tersinggung justru jd menyinggung lebih banyak orang, berusaha menutup luka justru makin menganga.
Mungkin bukan gitu obatnya. Sedih bukan untuk di sembunyikan bahkan diusir kehadiranya, luka bukan untuk dianggap tak ada. Nyatanya membiarkan semua emosi itu hadir justru lebih menenangkan. Kita seolah memberi kesempatan pada diri untuk menjadi manusia seutuhnya, seapaadanya. Kita jadi lebih aware, jadi lebih paham sama apa yang sedang diri rasa dan butuhkan. Kita jadi lebih ngerti apa yang seharusnya dilakukan. Mungkin dulu sesikit terbebani mendengar kata orang kalau aku ini orang yang rumit 😁 Tapi sekarang udah mulai bisa oh yaudah emang gitu adanya, dan ya ternyata emang rumit beneran wkwk. Mendengar kalimat itu udah bukan jadi beban, melainkan justru bisa ditertawakan kok bisa ya aku serumit itu wkwk.
Masih belajar, semoga emosi lain pun bisa kuterima dan jadikan teman. Bukan lagi sesuatu yang harus ku anggap sebagai beban dan mengusir keberadaanya. Semoga bukan hanya hari ini, melainkan seterusnya. 



Jumat, 04 Maret 2022

Refleksi ke sekian

 Layaknya smartphone yang harus di restart berkala agar kerjanya oke lagi, manusia juga gitu (menurutku). Agar setiap  bagian nya kembali berkerja maksimal dan saling bekerjasama dengan baik, harus di restart secara berkala. Barangkali sudah lari terlalu jauh bahkan berbalik arah dari tujuan awal yang di inginkan.  mungkin sudah seberapa banyak perkataan atau perbuatan yang secara tidak sengaja merugikan orang lain? Sudah seberapa jauh meletakkan ekspektasi dan harapan bukan pada tempatnya? sudah berapa banyak memuaskan ego pribadi dan mencari pembenaran atas nama kebaikan? Sudah berapa lama mengabaikan diri sendiri?  Apa yang sebetulnya yang lagi di kejar?

Rasanya pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah selayaknya  dipertanyakan dan direnungkan  minimal sekali seumur hidup. Dengan begitu mungkin bisa jadi kompas barangkali langkah kaki sudah lari terlalu jauh dari tujuan, atau mungkin terlalu lambat sehingga harus menambah kecepatan agar segera sampai pada tujuan. Disisi yang lain, pertanyaan-pertanyaan terdebut mungkin dapat menunjukan jelas posisi dimanakah kita berdiri sekarang sehingga mempermudah menentukan kemanakah akan melanjutkan langkah? 

Tapi ya gausah buru-buru juga, pelan-pelan aja diberesin satu persatu.  Kalau ada yang tanya apakah prosesnya sulit? Mungkin, tapi ngga selalu.  Dalam prosesnya bisa jadi ketemu pecah tangis, penyesalan dan sebagainya. Tapi ya namanya obat meski pahit perih insya allah menyembuhkan . Setiap dari kita rasanya pasti tau kadar luka yang dipendam masing-masing, dan hafal jenis obat apa yang bisa menawarkanya. 

Rumit? Gimana persepsi kita aja. Mau ngga mau inilah siklus hidup yang pasti dilalui.  Jatuh bangkit lagi, terus memperbarui niat , saatnya mempercepat atau memperlambat langkah dan lain sebagainya.  Apa sepenting itu menjaga kestabilan kondisi diri? Ya, sekuat apapun ingin membagi energi positif ke sekitar kalau diri sendirinya remuk juga percuma, ngga bakal sampe juga energi positifnya ke yang lain. Malah bisa jadi sebaliknya.  

Semoga kita selalu mempunyai banyak energi positif untuk diri, syukur-syukur untuk yang lain juga. Selamat merayakan hidup semaunya, semampunya, setenangnya. Semoga Tuhan senantiasa meluaskan hati kita untuk menerima setiap takdir yang sudah ditetapkan. Dan semoga takdirnya membawa bahagia dan membahagiakan orang banyak.  

Salam..

Jumat, 04 Februari 2022

Haii...

 Kamis, semoga hari kita semua berjalan dengan manis hehe. Kaya nya emang tiap hari harus dikasih mantra biar jadi magnet untuk kebaikan dan kebahagiaan bisa medekat. Meski abis dikasih mantra tetep aja kadang ada aja kejadian yang  menyulut emosi. Mulai dari mang ojol yang udah ditungguin malah slow respon dan lama banget. Belum lagi rekan kerja bahkan atasan yang ngomel-ngomel ngga jelas. Tapi ya, begitulah hidup. kalau ngga ada drama nya ngga seru hehe. Dahlah segitu aja intronya, tar ngga nyampe-nyampe ceritanya.

04:15 maish terlalu pagi untuk overthinking, masih terlalu pagi untuk menentukan pilihan A atau B, iya atau tidak. Wkwk udah kaya apa banget. Pagi ini ada sedikit perdebatan Dalam kepala sendiri puasa nggak ya puasa nggak ya karena kebetulan hari ini Kamis, 3 Februari 2022 adalah awal masuk bulan Rajab. Bulan yang didalamnya kita sebagai orang Islam disunahkan untuk melakukan berbagai amalan termasuk berpuasa di dalamnya. Meski hukumnya Sunnah tapi ada perasaan “duh sayang banget kalau nggak puasa di tanggal 1 ini”. Dan ketika coba ku telusuri lagi-lagi aku justru nggak tahu perasaan sayang banget ini apa karena sayang banget melewatkan 1 Rajab gitu aja tanpa puasa atau karena iri liat orang yang lain pada puasa. Padahal kalau emang nggak puasa alias meninggalkan sunnah karena hal wajib lainnya nya malah nggak papa banget daripada ngejar sunnah tapi kewajibannya justru tertinggal malah kacau juga. Masih pagi udah itung-itungan pahala dosa untung-rugi, sotoy banget dah. hahaha emang anaknya pinter cari-cari alibi aja sih sebenernya.

kalau kaya gini jadi ingat ayah, beliau adalah orang yang jarang banget, jarang jarang banget menyuruh anak-anaknya untuk melakukan ibadah sunnah meski beliau bisa dibilang nggak pernah bolong Ibadah sunnah nya. Sempat bertanya-tanya tapi enggak pernah diutarakan secara langsung, logikanya kenapa beliau ngga sekalian aja ajak anaknya bangun malam atau apapun itu. Mungkin kalau misal anak-anaknya melakukan ibadah sunnah pun bukan karena ajakan beliau, melainkan iri melihat beliau yang udah sepuh aja nggak sungkan masa anaknya masih muda justru males-malesan. Jadi aku hanya menyimpan pertanyaan itu sendiri. Dan akhirnya sekarang kucoba menerka-nerka mengapa ayah jarang sekali mengajak anak-anaknya untuk melakukan ibadah sunnah, dan bisa dibilang satu-satunya Ibadah sunnah yang benar-benar ayah pesankan adalah sholawat sama doa sebelum berbuka puasa karena beliau bilang itu adalah doa yang Mustajab.  Itu sih yang paling masih diingat.

Oke aku coba menerka yang pertama mungkin karena beliau ingin menyampaikan sesuatu tidak dengan nasehat atau ajakan atau apapun tapi lebih pakai teladan biar lebih ngena aja gitu, karena aku pernah dengar satu Teladan lebih baik daripada seribu nasehat.  Dan yaaaa berhasil menurutku, pesannya sampai meski tanpa nasehat atau ajakan dalam bentuk apapun. Sepertinya memang setiap ayah adalah teladan yang baik bagi setiap anaknya. Kedua mungkin karena beliau tidak ingin kami menganggap Ibadah sunnah itu sesuatu yang wow dan agak berlebihan sampai akhirnya kita nggak maksimal melaksanakan ibadah wajib lainnya. Beliau pernah menyampaikan menurut Kyai beliau di pesantren pernah menyampaikan bahwa lebih baik nggak usah puasa daripada sekolah ibadahnya jadi males-malesan jadi tidur mulu. Karena Emang aku gitu sih kalau puasa suka males-malesan dan ya itu yang jadi dalil dari dulu sampai sekarang makanya jarang banget puasa. hahaha emang anaknya paling pintar aja cari Alibi .

Oh my God Hari ini aku piket dan Jam sudah menunjukkan kalau aku harus siap-siap sekarang dan harus berangkat lebih pagi dari biasanya, kita sambung lagi kapan-kapan yaaaa . Selamat beraktifitas semuanya, yang puasa kuat-kuat ya sampai maghrib, yang nggak puasa nggak boleh iseng. udah nggak puasa iseng lagi Hahaha see you

salam...


Minggu, 21 November 2021

“Dikotomi Kendali” Ala Stoisisme

 

Some things are up to us, Some things are not up to us ” Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung pada) kita. Begitu ungkapan Epictetus dalam bukunya Enchiridion, beliau merupakan seorang filsuf stoa yang kita kenal dengan ajaranya dengan nama stoisisme. Sekilas ungkapan tersebut terdengar sangat klise, sebagian dari kita mungkin akan berpikir bahwa “yaelah, semua orang di dunia ini juga tau ”. tapi apakah kita sudah betul-betul tahu, memahami, meresapi dan mempraktikkan ungkapan tersebut? Atau hanya sekadar sering mendengar dan “merasa” tahu?

Dalam buku “Filosofi Teras” yang ditulis oleh Henry Manampiring menjelaskan bahwa dalam ajaran stoisisme terdapat prinsip fundamental yang disepakati oleh hampir seluruh filsuf stoa yang di disebut dengan dichotomy of control atau dikotomi kendali. Prinsip tersebut menjelaskan bahwa ada hal-hal yang berada dibawah kendali kita dan tidak dibawah kendali kita. Lalu hal-hal apa sajakah yang berada dibawah kendali kita dan tidak dibawah kendali kita? Epictetus membagi kedua hal tersebut ke dalam bagian berikut sehingga kita bisa dengan mudah memtakan kedua hal tersebut.

Dibawah kendali kita :

1.     Pertimbangan (judgment), opini atau presepsi kita

2.    Keinginan kita

3.    Tujuan kita

4.    Segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri.

Tidak dibawah kendali kita :

1.     Tindakan orang lain (kecuali dia dibawah ancaman kita)

2.    Opini orang lain

3.    Reputasi/popularitas kita

4.    Kesehatang kita

5.    Kekayaan kita

6.    Kondisi saat kita lahir, seperti jenis kelamin, orang tua, saudara-saudara, etnis/suku, kebangsaan, warna kulit dan lain-lain.

7.    Segala sesuatu diluar pikiran dan tindakan kita, seperti cuaca, gempa bumi dan peristiwa alam lainya

8.    Ada banyak hal yang belum ada di masa filsuf stoa hidup  tetapi dapat kita kategorikan disini, seperti harga saham saat ini, indeks pasar modal, razia sepeda motor, dan nilai tukar rupiah.

 Lebih lanjut Epictetus menjelaskan bahwa hal-hal yang dibawah kendali kita bersifat merdeka dan tidak terikat, sedangkan hal-hal yang tidak dibawah kendali kita bersifat lemah, terikat, bagai budak, dan milik orang lain. Jadi barangsiapa yang terobsesi pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan seperti perbuatan/opini  orang lain, kekayaan kita, kesehatan kita bahkan kondisi kita terlahir adalah sesuatu yang sangat di luar kendali kita. Sebagai contoh banyak orang yang diluar sana yang terus mengeluhkan kondisi mereka dilahirkan seperti “mengapa saya terlahir menjadi suku A?”, “mengapa saya pendek?”, “mengapa saya keriting?”, “mengapa saya tidak terlahir sebagai seorang anak raja?” dan lain-lain. Bagi stoisisme penyesalan seperti ini adalah kesia-siaan, karena menyesali hal-hal yang sama sekali tidak bisa kita kendalikan.

Stosisime mengajarkan bahwa kebahagiaan hanya bisa datang dari “things we can control”, kebahagiaan datang dari hal-hal yang bisa kita kendalikan. Itu artinya kebahagiaan itu datang dari dalam, bukan datang dari luar seperti perlakuan orang lain, kekayaan kita, status, popularitas, dan lain-lain. Kita tidak bisa mengatur orang lain untuk terus berbuat baik kepada kita, kekayaan bisa saja lenyap dengan sendiri baik karena bangkrut atau apapun, popularitas bisa saja seketika hilang karena da yang menjatuhkan dan lain-lain. Oleh karena itu ketika kita menggantungkan kebahagiaan pada itu semua, para filsuf stoa menganggapnya sebagai hal yang tidak rasional dan siap-sia saja kita akan dilanda kekecewaan.

Sebagian dari kita mungkin akan bertanya bahwa bukankah kesehatan ada dibawah kendali kita? Bukankah kita yang menjaganya?. Baiklah, bayangkan ada seseorang yang dari kecil sudah menjaga kesehatan dengan baik dengan menjaga pola makan, olahraga teratur, makan makanan yang sehat, tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang berbahaya, namun bisa saja tiba-tiba terdiagnosa kanker yang dipengaruhi oleh faktor genetik misalnya, atau ketika sedang traveling kemana lalu terpapar virus yang membahayakan, bahkan suatu hari sedang menyebrang lalu ditabrak oleh pemuda yang baru pulang party dalam keadaan mabuk yang pada ahirnya menderita cacat seumur hidup. sesungguhnya kesehatan pun tidak sepenuhnya dibawah kendali kita.

Manusia yang rasional diharapkan bisa menahan diri dari keinginan-keinginan pada hal yang tidak bisa kita kendalikan sebagai sumber kebahagiaan utama. Oleh karena itu marilah kita mencari sumber kebahagiaan dalam diri kita sendiri, tidak lagi menyesali bagaimana kita dilahirkan, melainkan focus pada apa yang bisa kita lakukan baik dengan mencari potensi diri dan mengembangkannya, maupun mensyukuri apa yang sudah Tuhan berikan dan lain-lain. Mengapa ini menjadi penting? Karena ketika kita sudah menemukan kebahagiaan dalam diri, kita tidak lagi cemas, takut apabila kekayaan kita tiba-tiba lenyap, kita tidak lagi popular, orang lain berpikir negatif, kita tidak lagi terganggu. Kita tetap bisa bahagia meski tanpa itu semua.

 

 

Minggu, 26 September 2021

Apa yang sebetulnya orang overthinking pikirkan?

 

Saking seringnya kepikiran, khawatir dan cemas sama hidup tiba-tiba muncul pertanyaan dibenak apa sih yang sebetulnya ada dikepala orang-orang overthinking? Hal apa yang sebetulnya kita khawatirkan? hal apa yang yang sebetulnya kita cemaskan sampe bisa overthinking hampir tiap waktu? pertanyaan yang diajukan untuk diri sendiri dan mungkin juga untuk mereka yang turut merasakan perasaan yang sama. Gini deh biar enak, coba kita bedah dulu arti overthingking itu sendiri biar ngga dikit-dikit melabeli diri dengan kata yang jadi simbol usia dua puluhan itu haha. Dilansir dari ugm.ac.id overthinking adalah menggunakan terlalu banyak pikiran untuk memikirkan suatu hal dengan cara yang merugikan serta overthinking dapat berupa ruminasi dan khawatir. Ruminasi adalah kecenderungan untuk terus memikirkan masa lalu. Sedangkan khawatir adalah kecenderungan memikirkan prediksi yang negatif.

Nah, padahal dari segi definisinya aja jelas tertulis kata ‘terlalu’ yang bisa berarti berlebihan, yang dalam konteks ini adalah berlebihan memikirkan sesuatu. Kita tau bahwa semua yang berlebihan itu nggak baik meski dalam hal kebaikan sekalipun, dan brarti memang ada sesuatu yang salah, ada sesuatu yang harus dibenahi. Ada yang pernah ilang gini ‘bahwa  ketika kita sedang cemas, khawatir, yang sedang berperan aktif alias mendominasi adalah perasaan kita dan logika bisa dikatakan sedang melemah’. Aku menyebutnya sebagai fase nggak rasional, karena emang yang dikedepankan hanya perasaan tanpa adanya pertimbangan untuk kemungkinan-kemungkinan lain.

Oiya kalau ngomongin ruminasi yang merupakan salah satu wujud dari overthinking tadi, jadi inget beberapa waktu lalu pernah nonton youtube nya dr. jiemi ardian yang membahas tentang ‘ruminatif thinking’, ruminasi sendiri memiliki arti proses pengembalian makanan dari lambung ke mulut pada hewan pemamah biak untuk dikunyah dan ditelan kembali. Mungkin temen-temen tau proses pencernaan pada hewan pemamah biak seperti sapi yang ngunyah dan masuk lambungnya nya nggak cuma sekali, tapi berkali-kali. Makanan yang sudah dikunyah akan masuk ke lambung dan akan dikembalikan ke mulut untuk dikunyah dan ditelan kembali, begitu terus prosesnya sampe berkali-kali sebelum masuk ke usus (koreksi ya kalau salah, lupa udah sekian tahun lalu haha).  Lalu apa hubunganya dengan overthinking? Kasusnya sama, orang yang sedang mengalami ruminatif thinking akan terus memikirkan dan mempertanyakan kembali sesuatu yang sudah ia pikirkan dan temukan jawabanya dimasa lalu atau beberapa waktu lalu. Dalam sebuah contoh kecil perihal pertanyaan ‘usia segini udah bisa apa?’ dalam kasus tertentu pertanyaan tersebut akan bercabang ke pertanyaan dalam aspek hidup lain seperti sosial, ekonomi, relasi dll. Dan dimasa lalu mungkin kita udah selesai dengan pertanyaan itu, kita udah temukan jawabanya. Tapi siapa sangka pertanyaan itu bisa muncul kembali sehingga kita harus mengalami dan mengulang proses menyebalkan itu sampe ketemu lagi dengan jawabanya. Begitulah kurang lebih mekanisme ruminatif thingking yang dapat berujung pada overthinking atau berpikir berlebihan akan sesuatu.

Oke, sekarang aku mau coba ngajak diriku sendiri dan temen-temen untuk mencari jawaban atas overthinking yang sedang dirasakan. Pernah nggak nanya sama diri sendiri sebetulnya apa yang sedang aku khawatirkan, apa yang sedang aku cemaskan sampe overthinking? khawatir sudah tertinggal jauh dari teman sebaya? Atau merasa nggak berguna? Insecure? Merasa cuma bisanya nyusahin orang sekitar? Belum bisa berbuat banyak untuk orang-orang terkasih?. Sial,kenapa jawabanya iya semua L. Tapi ada sesuatu yang aneh, sebenernya kita semua udah sejuta kali baca sampe hafal statement ‘setiap orang punya waktunya masing-masing, nggak ada yang terlambat maupun terlalu cepat, semuanya udah proporsional’. Tapi kenapa masih aja mengkhawatirkan, memikirkan dan mempertanyakan pertanyaan yang jawabanya kita udah tau?. Yaah, mungkin emang fase nya kali yaa, nggak bisa di skip. Untuk usia dewasa awal khususnya. Overthinking biasa menjadi makanan sehari-hari. Tapi yang perlu di highlight adalah semuanya akan gini-gini aja kalau kita Cuma mikirin doang tanpa melakukan sesuatu. Karena bisa jadi kita tak kunjung menemukan jawaban dan keluar dari fase ini karena kita belum melakukan sesuatu, entah coba mengulik potensi yang terpendam maupun mempelajari sesuatu yang baru.

Dan bagi yang hampir putus asa karena merasa belum berkembang atau tak kunjung ada perubahan atas apa yang sedang dikerjakan, itu bukan masalah. Jangan cepat melabeli diri gagal. Karena gagal terjadi ketika tujuan belum tercapai dalam target yang sudah ditentukan. Hobi kita adalah melabeli diri gagal tanpa tau tujuan kita bahkan mengatakan diri gagal padahal ternyata kitanya aja yang belum berjuang.

Coba nikmati sebentar lagi prosesnya, selama kita masih bergerak brarti kita masih on the right path. Ini semua hanya bagian dari part kecil dalam hidup, yang pasti dilewati untuk kemudian masuk dalam part selanjutnya. Jadi jangan dihabiskan energinya cuma buat mikirin ini semua. Percayalah, just do it! Kalau kata cak nun ‘Tuhan udah susah-susah menciptakan kita, nggak mungkin nggak bertanggung jawab atas hidup kita’. So, worry nya coba dikurangi yaa hehe..

Salam…

Sabtu, 28 Agustus 2021

Intermezzo

 

Ternyata benar, nggak ada yang lebih membahayakan dan mengerikan selain manusia itu sendiri. Manusia kalau udah iri, dengki, keras kepala, egois jauh lebih mengerikan daripada hantu, Nggak terkecuali aku juga sewaktu-waktu berpeluang masuk dalam kategori tersebut. Padahal kita adalah se-sempurna-sempurnanya makhluk, yang dibekali akal dan hati untuk mengontrol setiap tindak tutur kita sendiri. Dan lagian bukankah kita makhluk sosial yang nggak hidup sendiri di hutan yang bisa nglakuin apa aja tanpa perlu memikirkan impact nya bagi manusia lain? (by the way ini bacanya jangan ngegas yaa, karena aku juga nulisnya sambil senyum-senyum karena liat perilaku makhluk-makhluk dibumi yang makin menggemaskan).

Makanya ini jadi penting untuk betul-betul belajar mengenal diri sebagai jembatan untuk ngerti juga sama keadaan manusia lain. Ketika kamu ingin diperlakukan A ya coba perlakukan orang lain seperti apa kamu ingin diperlakukan, begitupun sebaliknya. Yaaa meski perilaku orang lain ngga bisa kita kendalikan, maka dari itu yang harus disentuh adalah kesadaran dalam diri masing-masing. Ini klise, dan mungkin semua orang bisa dengan mudah meng-iyakan. tapi ternyata setuju dengan sebuah pendapat atau statement tertentu juga nggak otomatis mau mempraktekkanya.

Kadang penasaran banget sama perasaan manusia yang suka bertindak tutur semaunya apa nggak ada perasaan nggak enak atau minimal ‘apa yang akan aku katakan dan lakukan ini kira-kira maslahat atau justru berpotensi mengganggu kenyamanan orang lain?’. Sering kali kita merasa benar dan cenderung memaksakan orang lain untuk meyakini kebenaran yang kita yakini tanpa mau menyisakkan secuil ruang untuk menerima sudut pandang orang lain. Padahal kita benar tapi bisa jadi salah dan orang lain salah tapi bisa juga benar.

Dalam kasus lain ketika ada seseorang yang terganggu atas ucapan orang lain meski dengan dalih bercanda, pastilah langsung diserang dengan kalimat ‘ah baperan lu’, ‘ah lu mah nggak santai’ dan lain sebagainya. Padahal ada orang yang terganggu kenyamananya tapi mengapa justru ia juga yang disalahkan?. Kalau baper itu artinya bawa perasaan, terus kalau ada perkataan maupun sikap orang lain seenaknya kita nggak boleh bawa perasaan? Heyy tolong yaaa kita semua ini manusia bukan tembok. Lagian hidup kalau nggak pake perasaan juga hambar. Jangan-jangan budaya kita memang gitu, lebih suka bilang ‘ah baperan lu’ dari pada belajar sadar buat jaga lisan dan jaga sikap.

Oiya ini juga tidak sedang men-generalisasi, masih banyak kok orang-orang baik diluar sana, masih banyak orang-orang yang mau belajar mindful sama sikap dan ucapanya, masih banyak orang yang punya empati. Bagi orang yang Alhamdulillah belum pernah mengalami maupun melihat fenomena seperti ini mungkin berpikiran ini sesuatu yang berlebihan, namun berapa banyak orang diluar sana yang merasakan hal ini tapi terus disembunyikan dan dipendam hanya karena takut dibilang baper atau nggak diterima dilingkungan pertemanan, kerjaan, sosial dan lain sebagainya.

Sebagai manusia kita memang punya kebebasan berekspresi dan melakukan apa yang kita mau, tapi kita juga diberi kedaulatan penuh atas akal dan hati untuk memilih bagaimana mengeskpresikan itu semua sebagaimana mestinya. Dari kecil kita selalu diajarkan untuk kuat, ngga boleh baperan dan ngga usah berlebihan nanggepin orang lain. Tapi jarang diajarkan untuk aware sama apa yang akan kita lakukan, entah perihal dampaknya bagi diri maupun orang lain. Mari menjadi waras tanpa mengganggu kewarasan orang lain.

Salam…

 

Memaafkan

Setiap orang pasti memiliki cerita dan proses untuk memaafkan. Baik memaafkan keadaan, memaafkan seseorang, dirinya sendiri dan lain sebagai...