Selasa, 15 Maret 2022

Belajar menerima (lagi)

 


Menikmati sekali hadir penuh merasakan setiap emosi yg hadir sebagai selayaknya manusia. Mulai dr seneng, sedih, kesel, ngeluh, semangat, males, bahkan cinta dan lain sebagainya. Menutup telinga dari suara yang mengatakan 'ngga boleh keliatan sedih', 'ngga boleh baperan', 'hidup itu harus seneng terus', 'ngga usah menampakkan luka' dsb, yang semuanya justru berpotensi melukai banyak orang. Berusaha ngga mudah tersinggung justru jd menyinggung lebih banyak orang, berusaha menutup luka justru makin menganga.
Mungkin bukan gitu obatnya. Sedih bukan untuk di sembunyikan bahkan diusir kehadiranya, luka bukan untuk dianggap tak ada. Nyatanya membiarkan semua emosi itu hadir justru lebih menenangkan. Kita seolah memberi kesempatan pada diri untuk menjadi manusia seutuhnya, seapaadanya. Kita jadi lebih aware, jadi lebih paham sama apa yang sedang diri rasa dan butuhkan. Kita jadi lebih ngerti apa yang seharusnya dilakukan. Mungkin dulu sesikit terbebani mendengar kata orang kalau aku ini orang yang rumit 😁 Tapi sekarang udah mulai bisa oh yaudah emang gitu adanya, dan ya ternyata emang rumit beneran wkwk. Mendengar kalimat itu udah bukan jadi beban, melainkan justru bisa ditertawakan kok bisa ya aku serumit itu wkwk.
Masih belajar, semoga emosi lain pun bisa kuterima dan jadikan teman. Bukan lagi sesuatu yang harus ku anggap sebagai beban dan mengusir keberadaanya. Semoga bukan hanya hari ini, melainkan seterusnya. 



Jumat, 04 Maret 2022

Refleksi ke sekian

 Layaknya smartphone yang harus di restart berkala agar kerjanya oke lagi, manusia juga gitu (menurutku). Agar setiap  bagian nya kembali berkerja maksimal dan saling bekerjasama dengan baik, harus di restart secara berkala. Barangkali sudah lari terlalu jauh bahkan berbalik arah dari tujuan awal yang di inginkan.  mungkin sudah seberapa banyak perkataan atau perbuatan yang secara tidak sengaja merugikan orang lain? Sudah seberapa jauh meletakkan ekspektasi dan harapan bukan pada tempatnya? sudah berapa banyak memuaskan ego pribadi dan mencari pembenaran atas nama kebaikan? Sudah berapa lama mengabaikan diri sendiri?  Apa yang sebetulnya yang lagi di kejar?

Rasanya pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah selayaknya  dipertanyakan dan direnungkan  minimal sekali seumur hidup. Dengan begitu mungkin bisa jadi kompas barangkali langkah kaki sudah lari terlalu jauh dari tujuan, atau mungkin terlalu lambat sehingga harus menambah kecepatan agar segera sampai pada tujuan. Disisi yang lain, pertanyaan-pertanyaan terdebut mungkin dapat menunjukan jelas posisi dimanakah kita berdiri sekarang sehingga mempermudah menentukan kemanakah akan melanjutkan langkah? 

Tapi ya gausah buru-buru juga, pelan-pelan aja diberesin satu persatu.  Kalau ada yang tanya apakah prosesnya sulit? Mungkin, tapi ngga selalu.  Dalam prosesnya bisa jadi ketemu pecah tangis, penyesalan dan sebagainya. Tapi ya namanya obat meski pahit perih insya allah menyembuhkan . Setiap dari kita rasanya pasti tau kadar luka yang dipendam masing-masing, dan hafal jenis obat apa yang bisa menawarkanya. 

Rumit? Gimana persepsi kita aja. Mau ngga mau inilah siklus hidup yang pasti dilalui.  Jatuh bangkit lagi, terus memperbarui niat , saatnya mempercepat atau memperlambat langkah dan lain sebagainya.  Apa sepenting itu menjaga kestabilan kondisi diri? Ya, sekuat apapun ingin membagi energi positif ke sekitar kalau diri sendirinya remuk juga percuma, ngga bakal sampe juga energi positifnya ke yang lain. Malah bisa jadi sebaliknya.  

Semoga kita selalu mempunyai banyak energi positif untuk diri, syukur-syukur untuk yang lain juga. Selamat merayakan hidup semaunya, semampunya, setenangnya. Semoga Tuhan senantiasa meluaskan hati kita untuk menerima setiap takdir yang sudah ditetapkan. Dan semoga takdirnya membawa bahagia dan membahagiakan orang banyak.  

Salam..

Memaafkan

Setiap orang pasti memiliki cerita dan proses untuk memaafkan. Baik memaafkan keadaan, memaafkan seseorang, dirinya sendiri dan lain sebagai...